22 August 2009

Berkah

Petikan surat Bindu:
Somya mengajakku jalan-jalan di sebuah taman di bumi. Seperti biasa, sebagian besar waktu perbincangan, diisi dengan canda.

Tiba-tiba, entah mendapat ilham dari mana, ilmuwan Planet Ghrena itu berucap, “Alangkah indahnya taman ini, Bindu.”

Tidak yakin cara menanggapinya, aku berkata, “Hm. Bunga-bunga itu memang cantik. Tanah subur. Disini, rezeki datang pada tiap jenis bunga.”

“Ya. Semua bunga dapat rezeki. Tapi tidak semua bunga dapat berkah kan?” sahut Somya sambil, seperti biasa, cekikikan.

Aku memasang wajah menunggu, jadi Somya melanjutkan, “Kemarin aku mendengar salah seorang tokoh bumi, berbicara dihadapan ribuan pengikutnya. Tokoh ini menganut kepercayaan tertentu, sebut saja kepercayaan Jalan Langit.”

“Teruskan.”

“Sang tokoh menegaskan, Jalan Langit adalah jalan istimewa. Satu-satunya jalan kebenaran. Diturunkan langsung oleh Yang Sempurna.”

“Lalu?”

“Salah seorang pengikut, mengajukan pertanyaan. Jalan Langit adalah jalan istimewa. Tapi mengapa kehidupan para pengikut Jalan Langit, tidak istimewa?”

Aku mengerti kegundahan si pengikut. Kenyataannya, jumlah rezeki tidak bergantung pada jenis kepercayaan seseorang. “Apa jawaban si tokoh?”

Somya tersenyum, “Dia mengatakan, rezeki memang datang pada setiap orang. Hanya saja, rezeki untuk mereka yang berada diluar Jalan Langit, tidak berkah.”

Aku jadi ikut geli, “Dan bagaimana cara kita tahu, rezeki diluar Jalan Langit tidak berkah?”

Somya menjulurkan kedua lengannya ke atas, “Dengan bertanya langsung pada Yang Sempurna dong.”

Aku tertawa, “Oke, itu bisa dilakukan. Tapi bagaimana agar pertanyaan itu mendapat jawaban?”

Somya mengedipkan sebelah matanya, “Tidak perlu khawatir. Jawaban disediakan oleh si tokoh itu kan? Karena dia merasa mewakili Yang Sempurna.”

Aku tersenyum kecut, merasa mengenali situasi itu, “Tidak ada cara untuk menguji jawaban itu.” Aku merasa berbicara pada diriku sendiri, “Apa manfaat jawaban seperti itu, bagi para pengikut si tokoh? Jawaban itu serupa dengan fiksi.”

Mata Somya yang semula berbinar nakal, tampak melembut, “Di Ghrena, kami menyebut jawaban-jawaban serupa itu, sebagai 'Yang Tak Bisa Dialami'. Bagi kami, gagasan-gagasan seperti itu tidak ada artinya. Tidak bermakna. Tidak berguna kecuali bila dipahami sebagai fiksi yang menghibur. Hal yang sia-sia saja.”

“'Yang Tak Bisa Dialami'?”

“Ya. Karena gagasan semacam itu, hanya tampil sebagai gagasan. Sebagai kata-kata kosong. Tidak lebih. Tidak pernah menjadi pengalaman. Istilah 'Yang Tak Bisa Dialami', dipakai sebagai lawan dari 'Yang Bisa Dialami'.”

Bangsa Vetade, penghuni Planet Ghrena, punya istilah lucu untuk banyak hal. Aku mengangguk, “'Yang Bisa Dialami', berarti bisa diuji kebenarannya. Misalnya, bahwa Somya punya sepuluh jari tangan?”

Somya tertawa, “Kira-kira begitu. Atau bahwa Bindu tampak tampan di pagi hari.”

“Itu lebih sulit disetujui. Mengukur ‘tampan’ jelas lebih sulit daripada mengukur ‘sepuluh jari tangan’. Yang jelas, kamu semakin pintar melancarkan rayuan tersembunyi.”

Somya cekikikan, “Aku tidak merayu kamu. Perhatikan dong, aku memberi tekanan pada kata ‘di pagi hari’. Dan sekarang sudah agak siang kan?”

Memang asyik berdiskusi dengan Somya. Sambil mengamati gelak tawanya, aku mengingat-ingat, berapa banyak gagasan tak berarti, yang aku miliki...? *

27 July 2009

Kata Kata

Petikan surat Bindu:
Somya, tampak seperti gadis cantik lain. Berbusana seperti gadis muda biasa. Makan donat walau lebih suka makan salad. Tertawa terbahak-bahak. Suka berjalan-jalan ke tempat-tempat indah.

Meskipun bisa disebut sebagai sepenuhnya manusia, Somya tidak lahir di bumi. Tidak juga di tata surya ini. Somya seorang Vetades, warga Negeri Vetade, lahir di sebuah planet, ratusan tahun cahaya dari bumi.

Leluhur Vetades sama dengan leluhur manusia bumi. Hanya saja, Bangsa Vetade raib dari permukaan bumi, beberapa ribu tahun lalu. Sebagian besar manusia di bumi, mengenal Kaum Vetade dengan sebuah nama lain. Negeri Vetade yang tenggelam, telah jadi hikayat populer.

Sebetulnya, saat negeri mereka hancur, sebuah gerbang lintas ruang-waktu telah mengungsikan Kaum Vetade ke sebuah planet lain... Planet yang kemudian mereka sebut Ghrena.

Gerbang lintas ruang-waktu, hingga kini, diluar jangkauan teknologi Vetades. Gerbang itu bukan karya mereka. Suatu kecerdasan lain, ribuan tahun sebelumnya, telah membangun gerbang itu. Ribuan tahun kemudian, secara bergantian, berdasar perjanjian tertentu, sejumlah Vetades mendapat akses gerbang. Ilmuwan seperti Somya misalnya, bisa bolak-balik antara Ghrena dan Bumi, dalam sekejap.

Aku janji bertemu Somya, siang itu, di tepi sebuah sungai indah. Saat pikiranku melayang membayangkan kehidupan di Ghrena, tiba-tiba saja, seseorang mengacak-acak rambutku dari belakang. Tak mungkin orang lain. Pasti Somya.

“Hai!” katanya, seperti biasa sambil cekikikan. Somya mahir beberapa bahasa bumi. Jadi, berkomunikasi dengan dia, bukanlah masalah.

Setelah berbasa-basi sejenak, kami duduk berdua di bantaran sungai. Aku geli melihat wajahnya, yang tampak seperti selalu tersenyum, “Bagaimana kabar planetmu, akhir-akhir ini?”

“Ghrena? Ah, dia selalu baik-baik saja.”

Aku tahu Somya gemar membahas keterbatasan bahasa. Jadi aku gelitik dia, “Apa artinya? Apa makna ‘baik-baik saja’?”

Somya tertawa, “Oke Say. Warga bumi-lah, yang biasanya lupa pada status kata-kata.”

“Maksudmu, Vetades selalu mahir berbahasa?”

Somya menonjok perutku. Aneh sekali cara orang Ghrena bercanda. Tonjokan itu tidak main-main. Ketika aku meringis kesakitan, Somya menepuk-nepuk punggungku. “Nah, itu juga salah satu cara Vetades berkomunikasi,” Somya tersenyum puas, “Bagian dari kemahiran kami berbahasa. Menurutmu, apa arti tonjokan itu?”

“Kamu baru belajar karate?”
“Mengecewakan sekali!” teriak Somya demikian keras hingga beberapa orang disekitar, menengok ke arah kami. “Sebelum berkunjung ke Ghrena, jelas sekali, kamu harus lebih banyak meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dalam kesunyian.”

“Itu jelas sekali,” sahutku, “Kata-katamu memang menunjukkan, betapa pentingnya komunikasi tanpa kata-kata.”

“Ha ha ha. Aku terpaksa menggunakan kata-kata, untuk berkomunikasi dengan pecinta kata-kata. Ya kan? Hanya saja, aku tak pernah lupa pada status kata-kata.”

“Lagi-lagi, status kata-kata. Apa sih maksudnya?”

“Tonjokan tadi belum jelas ya?” kata Somya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Oke deh. Akan kuperjelas. Tapi sebelumnya, kita berfoto dulu ya...”

Somya bersiul, dan tiba-tiba saja, sebuah bola kecil melompat keluar dari tas jinjingnya. Lalu melayang di sekeliling kami, seperti mencari posisi. Ternyata, benda itu robot berkamera.

Somya berpose, bergaya, memaksaku bergaya, dan setelah beberapa saat meraih tas jinjingnya. Hasil cetak foto, rupanya langsung tersedia di dalam tas. Teknologi Vetades, memang beberapa langkah lebih maju dibanding teknologi sepupu mereka di bumi.

Sambil tersenyum-senyum, Somya menunjukkan hasil cetak foto-foto itu, “Aku memang cantik ya?”

Ya, dia memang cantik. Tapi aku berkata, “Aku tak mau ambil risiko menerima tonjokan berikut, kalau berkata sebaliknya.”

Somya pura-pura cemberut. Dia menarikku duduk kembali di tepi sungai, lalu menunjuk foto-foto itu, “Lihat ini Sayang. Ini fotoku. Ini aku. Dua hal yang berbeda.”
“Busyed. Mengapa kamu mengira aku tidak bisa membedakan, antara kamu dan fotomu?”
Somya cekikikan lagi, “Aku sekedar mengatakan, kamu sering lupa bahwa keduanya berbeda.”
“Kamu jangan menuduh yang bukan-bukan.”
Somya menatapku, “Ini pengamatanku. Warga Planet Bumi sering lupa pada status kata-kata.”
“Seperti apa sih, status kata-kata menurut Vetades?”

“Bangsa Vetade betul-betul membedakan, pengalaman langsung dengan pengalaman kata-kata. Dalam peristiwa di tepi sungai ini misalnya, pengalaman langsung adalah pengalamanmu tentang aku. Sementara kata-kata, adalah foto-fotoku ini. Bagi Vetades, kata-kata hanyalah simbol. Wakil dari pengalaman langsung. Alat untuk berkomunikasi. Tak lebih. Dengan demikian, status kata-kata selalu lebih rendah daripada status pengalaman langsung.”

“Tentu saja. Aku tak kan pernah mau, duduk-duduk di tepi sungai ini, hanya bersama foto-fotomu.”

Somya berguling-guling di rumput sambil memegangi perutnya. Rupanya dia menganggap lelucon itu lucu sekali. Beberapa saat kemudian, setelah gelinya reda, dia menyambung, “Jelas, kata-kata tidak pernah memadai, untuk menggambarkan pengalaman langsung. Kata-kata, juga dengan mudah terdistorsi.”

Aku mengangguk, “Penampilanmu dalam foto, memang lebih menarik daripada aslinya.”
Sebuah tonjokan kembali bersarang di perutku. Sebelum terjadi pembantaian lebih lanjut, aku melanjutkan, “Lebih menarik, bukan berarti lebih cantik. Yang asli, memang jauh lebih cantik.”

Somya berlagak puas, “Pernyataan yang bijaksana. Karena itu di Ghrena, kami tidak pernah bersengketa, cuma gara-gara kata-kata. Apalagi, kata-kata tentang hal-hal abstrak.”

Aku menanggapi, “Kata seperti ‘cantik’, memang sulit dimengerti dengan baik. Arti ‘cantik’ bagiku, bisa jadi sangat berbeda dengan ‘cantik’ untukmu.”

“Sudahlah. Hentikan usahamu mengingkari kecantikanku,” Somya tersenyum, “Tapi aku setuju, pengalaman kita tentang kecantikan, bisa saja sangat berbeda. Di Ghrena, hutan dan sungai biasa disebut cantik.”

“Hm. Memang agak sulit bagiku, menyebut sungai ini secantik kamu. Ghrena mungkin sebuah surga untukku.”

“Sayang sekali kamu belum pernah ke Ghrena.”

Aku tahu maksud Somya, “Dengan demikian, besar sekali kemungkinan, kita bicara tentang surga yang berbeda.”

Aku diam sejenak, melirik Somya dan melanjutkan, “Tapi aku tidak akan menonjok perutmu, hanya karena perbedaan pandangan atas arti suatu kata.”
Somya tertawa, “Mungkin tergantung jenis kata-katanya?”

Aku menatap mata coklat Somya, “Kecantikan. Tuhan. Kebaikan. Kejahatan. Cinta. Neraka. Kebenaran... Kata apapun.”
“Kamu yakin?” Somya menelengkan kepalanya.

“Bukankah kita tidak pernah bisa yakin, pada makna kata-kata? Bagaimana mungkin aku berkelahi, demi sesuatu yang meragukan?”

“Bagaimana kalau kamu akhirnya yakin? Seperti ketika kamu sudah yakin jatuh cinta padaku? Bukankah kamu siap berperang untuk membela cintamu?”

“Siapa bilang aku jatuh cinta padamu?” protesku.
“Kata-kata memang tidak bisa dipercaya,” Somya cekikikan.
Gemas, kuacak-acak rambut gadis menyenangkan itu. *