15 January 2009

Persahabatan Sejati

Petikan surat Bindu:
Manu mengajak aku berjalan-jalan ke salah satu sudut sebuah kota kuno. Bangsa Manu menyebut negeri mereka, Siluk. Suasana Siluk sungguh menyenangkan. Damai. Menimbulkan inspirasi. Sekarang, penduduk Siluk hidup di taman-taman. Tapi kota-kota kuno, yang bermandikan cahaya, masih mereka pertahankan.

Aku tahu, beberapa ratus tahun lalu, Bangsa Siluk melepaskan diri dari sejumlah doktrin. Doktrin-doktrin itu, berasal dari sejumlah buku. Buku-buku yang mengaku berasal dari ‘Yang Sempurna’. Singkat kata, Bangsa Siluk akhrnya beranggapan, isi buku-buku itu menyesatkan.

Tapi aku bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa meninggalkan aneka doktrin dari buku-buku itu, begitu saja, secara total? Seperti melompat dari hitam ke putih. Tanpa abu-abu. Tanpa transisi?
Mengapa tidak seperti di bumi? Para pemeluk berbagai doktrin berbeda, bisa hidup berdampingan dalam jangka panjang, dengan menerapkan toleransi. Aku lontarkan pertanyaan itu pada Manu.

Manu tersenyum, “Bindu, apakah menurutmu, dua pemeluk doktrin yang berbeda, bisa bersahabat?”
“Tentu saja. Bila kita mengembangkan sikap toleran.”
Manu menggeleng, “Bagi kami, itu tidak mungkin.”
“Mengapa tidak? Di bumi, kami melakukan itu setiap waktu.”
“Di Siluk, toleransi bertentangan dengan persahabatan sejati.”
“Apakah kau bercanda? Bagaimana mungkin?”

Manu melambaikan tangannya. Tiba-tiba saja, tujuh citra bercahaya tampil di sekeliling kami. Segera kusadari, tiap citra bercerita tentang sesuatu. Manu menunjuk citra-citra itu, “Lihat Bindu. Dulu, ada tujuh buku utama, dengan tujuh doktrin yang berbeda.”
Aku mengangguk, Manu melanjutkan, “Tiap doktrin melontarkan klaim, keselamatan hanya ada pada doktrin tersebut. Menolak doktrin itu, berarti siap dilemparkan ke dalam ‘Alam Penderitaan Abadi’.”
Aku menyambung, “Bila aku memilih salah satu doktrin, maka enam doktrin lain siap melemparku ke ‘Alam Penderitaan Abadi’.”
“Tepat,” Manu tersenyum.

Aku tidak puas, “Lalu kenapa? Tidak apa-apa kan? Kalian bisa mengembangkan toleransi. Pemeluk doktrin yang satu, tidak usah mengganggu pemeluk doktrin lainnya. Kalian hidup rukun. Beres.”
“Tidakkah kau lihat ketidaksesuaian dalam pikiranmu itu, Bindu? Bagaimana mungkin persahabatan sejati, tumbuh dalam sikap toleransi semacam itu?”
“Maksudmu?”

Pandangan Manu menembusku, sebelum dia menjawab, “Anggaplah ada dua warga Siluk tampak bersahabat. Dua sahabat ini, memeluk doktrin yang berbeda. Apa pandanganmu mengenai persahabatan mereka?”
“Bagiku, mereka tampak mengesampingkan perbedaan, demi persahabatan.”
“Bagi warga Siluk, persahabatan itu sepenuhnya palsu.”
Aku terkejut, “Bagaimana bisa begitu?”

“Bukankah jelas? Masing-masing merasa, pihak lain akan dikirim ke ‘Alam Penderitaan Abadi’.”
Aku diam, Manu melanjutkan, “Bila kau percaya pada doktrin-doktrinmu, maka tiap kali kau pandang mata sahabatmu, kau akan berpikir ‘inilah orang yang akan dilempar ke Alam Penderitaan Abadi’.”

Aku bisa melihat sudut pandang itu. Manu meneruskan, “Bagaimana mungkin, kau punya pikiran seperti itu tentang sahabatmu, dan kau diam saja, Bindu? Bila kau mengerti beratnya ancaman doktrinmu, sungguh aneh bila kau tak bergidik, tiap kali bertemu sahabatmu! Bila kau memang sahabatnya, kau akan lakukan segala macam cara, untuk menyelamatkannya! Segala jenis cara yang terpikirkan! Tidak mungkin tidak!”

Tujuh citra tiga dimensi itu, kini memperlihatkan citra-citra menyeramkan. “Bila kau tidak ambil upaya penyelamatan, Bindu, jelas kau bukanlah sahabat sejati. Bagaimana mungkin kau biarkan sahabatmu berpotensi menjalani penderitaan tak terbayangkan hebatnya?”
Aku tergetar, “Tapi, apa yang bisa kulakukan?”

“Tepat sekali.” Manu melembut, “Apa yang bisa kau lakukan? Tak ada bukti konkret, untuk mendukung klaim salah satu doktrin. Tak ada cara, untuk menentukan doktrin paling tepat menuju keselamatan. Maka bagi para pecinta doktrin, persahabatan berhenti disana.”

Aku diam, dalam hati membahas ulang sudut pandang Manu. “Tadi kau katakan, ada dua kemungkinan dari persahabatan itu. Apa kemungkinan kedua?”
“Kemungkinan kedua, dua warga bersahabat itu, sebetulnya, telah meragukan doktrin-doktrin mereka sendiri. Keyakinan mereka, telah melemah. Dalam hati mereka merasa, apapun doktrinnya, sang sahabat akan baik-baik saja.”

“Begitukah prosesnya, waktu itu?”
“Ya. Bangsa Siluk tidak mampu menduakan hati. Bila yakin pada sesuatu, mereka laksanakan itu sepenuh jiwa.”
Aku diam, membayangkan sejenis toleransi, yang selama ini aku kenal. Manu melanjutkan, “Penduduk Siluk memutuskan, tidak melakukan toleransi jenis itu. Kami memilih persahabatan sejati. Sejak itu, kami mengembangkan berbagai jenis teknologi mental, untuk mendukung keputusan kami. Persahabatan di Siluk, tidak mengenal niat-niat tersembunyi.”

Mungkin karena itu, aku merasa suasana di negeri Manu begitu nyaman dan melegakan. Seakan, tak ada niat buruk berkeliaran di udara. “Tak adakah diantara kalian, yang memilih membela doktrin dari bukunya?”
Manu tersenyum, “Bagaimana mungkin? Apa landasannya? Dan siapakah yang begitu sombong, merasa doktrin bukunya lebih hebat daripada doktrin buku lain? Tanpa bukti konkret?”
Aku menambahkan, “Pengetahuan tiap individu Siluk, kira-kira setara.”

Manu mengangguk tertawa, “Bagaimana mungkin kau melihat mata sahabatmu, sambil berkata dalam hati, ‘Aku lebih tahu daripada kamu. Aku yakin walau tanpa bukti, doktrinku benar sementara doktrinmu keliru’?”
“Bangsa Siluk tidak lagi menengok ke belakang.”
“Betul. Memilih persahabatan sejati, dengan sendirinya berarti segala doktrin tak berdasar, tertolak.”

Aku melihat beberapa gedung di hadapan kami, beralih rupa. Ternyata, sebagian gedung hanyalah citra tiga dimensi, memperlihatkan penampilan kota ini, beberapa ratus tahun lalu.*