31 January 2009

Pengalaman yang Benar

Petikan surat Bindu:
Bagi manusia, keberadaan Bangsa Nor, sungguh sangat samar. Jadi suatu hari aku bertanya pada Urmi, “Apakah Bangsa Nor memang menempati ruang tertentu di alam semesta? Seperti Bangsa Manusia menempati Planet Bumi?”

Urmi tertawa menebarkan pesona. Kecantikan Urmi, sebagai warga Negeri Nor, betul-betul tidak manusiawi. Dia berkata, “Suasana Negeri Nor, sulit dijelaskan dengan bahasa bumi. Sebetulnya, alam kita ada berdampingan. Beberapa manusia yang mampu mengalami Nor, menyebut alam Negeri Nor sebagai Alam Niskala.”

“Bagi sebagian besar manusia, Negeri Nor sama dengan tidak ada.”
Urmi tersenyum. “Bagaimana denganmu, Bindu? Kau bisa melihatku. Apakah kau beranggapan Negeri Nor tidak ada?”
Aku memandang wajah Urmi, “Bagiku, kau memang ada. Tapi aku kesulitan membedakanmu dari ilusi.”

Urmi tergelak, “Mengapa kau merasa perlu, untuk membedakan aku dari ilusi? Mengapa tidak kau terima saja, segala jenis pengalaman ini? Mengapa tidak kau terima saja, pemandangan indah ini, udara segar ini, percakapan ini, seperti apa adanya?”
“Bagaimana aku tahu, ini adalah pengalaman yang benar?”
“Apa maksudmu dengan ‘Pengalaman yang benar’?”

“Begini, andaikan aku seorang pesulap. Suatu hari, aku menggelar pertunjukkan sulap di tepi jalan. Dengan peralatan sulap canggih, aku membuat seseorang tampak melayang di udara.”
Urmi mengangguk, aku melanjutkan, “Nah, seorang anak secara kebetulan lewat di jalan, menyaksikan adegan itu. Dia tidak tahu, sedang berlangsung pertunjukkan sulap. Bukankah anak itu akan beranggapan, ada manusia bisa terbang?”

“Ya, tentu begitulah pengalaman anak itu. Lalu kenapa?” Urmi tersenyum lagi. Aku tahu, dia memancingku melancarkan keberatan.
“Kok kenapa? Bukankah pengalaman anak itu, tidak benar?”
“Lalu, pengalaman seperti apa, yang benar?”

“Bukankah jelas? Akulah sang pesulap. Aku tahu peristiwa sesungguhnya. Orang itu tidak benar-benar melayang di udara. Aku mengangkat orang itu dengan kawat halus. Semua itu hanya tipuan. Pengalaman itu palsu.”
Urmi tersenyum senang. “Baiklah. Untuk menanggapi ceritamu, aku ungkapkan padamu, sedikit cerita tentang suatu bangsa yang sangat maju. Kami warga Nor, menyebut mereka Bangsa Agraja.”

“Suatu bangsa, yang lebih maju daripada Bangsa Nor?”
“Tak perlu terlalu heran, Bindu,” Urmi tergelak. “Alam semesta jauh lebih luas, lebih aneh, daripada yang dapat dibayangkan. Pendek kata, teknologi mental dan material Bangsa Agraja sudah demikian maju, mereka mampu merekayasa berbagai hal, pada skala yang, bagi sebagian besar warga bumi, tak terbayangkan.”
Aku diam, Urmi melanjutkan, “Penduduk bumi, akan menganggap karya teknologi Bangsa Agraja sebagai keajaiban atau mukjizat.”

Aku mulai meraba arah pembicaraan Urmi. “Atau sulap?”
Urmi mengangguk, “Bagai sulap. Entah untuk tujuan apa saja, mereka menciptakan banyak sekali simulasi atau realitas tiruan. Persis seperti panggung pertunjukkan sulap, panggung simulasi mereka, memiliki hukum-hukum atau aturan-aturan sendiri.”

“Hukum-hukum yang berbeda, dengan hukum-hukum yang berlaku di ‘Alam Semesta Yang Sesungguhnya’?”
“Tepat. Dan banyak diantara panggung simulasi mereka, tampak seperti ini, berisi planet dengan kehidupan, lengkap dengan penampakan matahari dan bintang-bintang...”

Aku ternganga. Urmi memegang pundakku, memandang lurus kedua mataku. “Tentu sekarang, kau sudah mengerti arah ceritaku. Bagaimana kau tahu, bumi tidak berada dalam salah satu simulator Bangsa Agraja?”
Aku merasa agak sulit mencerna ini. Urmi melanjutkan, “Bukankah ada kemungkinan, posisimu serupa, dengan posisi seorang anak yang kebetulan lewat di jalan dan melihat sebuah pertunjukkan sulap?”

Aku diam saja.
“Bila kau bukan Bangsa Agraja, bagaimana kau bisa membedakan ‘Dunia Hasil Simulasi’ dari ‘Dunia Sesungguhnya’? Mungkin saja aku, gunung di hadapanmu dan awan di atasmu hanyalah bagian dari suatu alam rekaan yang sangat canggih.”

Dengan gentar, aku menggenggam telapak tangan Urmi, “Apakah kau sedang mengatakan, dirimu hanyalah semacam simulasi...?”
Urmi tampak geli, “Aku hanya mengatakan, mungkin saja pengalamanmu sehari-hari, adalah palsu.”
Aku memandang Urmi lekat-lekat, “Tapi kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau adalah bagian dari suatu simulasi?”

Urmi terpingkal-pingkal, “Apakah bedanya? Seandainya aku tokoh di sebuah simulator, bukankah aku sendiri tidak akan menyadarinya? Lagi pula, seandainya semua ini hanyalah simulasi, apa masalahnya? Bukankah pengalaman pribadimu ini, tetap ada? Bukankah pengalaman pribadi ini, tetap benar bagimu?”

Aku diam bertimbang-timbang. Anak kecil di jalan itu, suatu hari bisa tumbuh jadi seorang pesulap. Mungkinkah aku melintasi tabir pikiran ini, dan tumbuh menjadi sesosok Agraja? *

Ada

Petikan surat Bindu:
Urmi adalah anggota Bangsa Nor. Tiap insan Nor, bagiku, antara ada dan tiada. Kadang aku berpikir, saat aku bertemu Urmi, sebetulnya aku bertemu pikiranku sendiri.

Urmi jelas beda dengan manusia biasa. Sering sekali, kehadiran Urmi tidak disadari. Seperti tembus pandang, dia tak terlihat.
Aku pernah menduga, Urmi yang luar biasa cantik, hanyalah konsep atau perasaan. Semacam perwujudan kecantikan. Tiap orang merasa sentuhannya, tapi tidak semua orang menyadari penuh kehadirannya.

Pagi itu, aku berjalan kaki di lereng sebuah gunung, ketika tiba-tiba saja, Urmi berjalan di sisiku. Aku sampaikan saja lintasan pikiranku. “Urmi, apakah kau ini memang ada?”

Urmi tersenyum, “Mengapa keberadaanku kau ragukan, Bindu?”
“Jangan-jangan, kau hanyalah karya pikiranku sendiri?”
Urmi tergelak. “Ya. Bisa saja, aku adalah ciptaan pikiranmu. Tapi sesungguhnya, bagimu, aku tetap ada.”
“Maksudmu?”
“Begini. Kau memang bisa meragukan keberadaan ‘Urmi’. Tapi kau tidak bisa meragukan keberadaan ‘Pengalaman pribadimu tentang Urmi’.”

Mungkin aku mengerutkan dahi, hingga Urmi melanjutkan, “Sangat mungkin, Urmi sebetulnya tidak ada. Atau, Urmi hanyalah sebentuk mimpi belaka. Tapi tetap saja, ‘Pengalaman pribadimu tentang Urmi’, ada.”
“Tolong teruskan.”

Urmi menyodorkan tangannya, yang tiba-tiba saja memegang setangkai bunga. “Apa yang kau lihat?”
“Sekuntum bunga indah.”
Entah bagaimana, bunga itu berubah menjadi sebutir permata. “Apa yang kau lihat?”
“Sebutir permata berkilauan.”
Di depan mataku, permata itu memudar, lalu menghilang. “Apa yang kau lihat?”
Aku menyentuh telapak tangan Urmi, memastikan permata itu memang lenyap. “Permata itu menghilang.”

Urmi tersenyum, “Objek bisa berubah. Dan memang selalu berubah. Tapi pengalamanmu, bahwa kau melihat sesuatu, bahwa kau menyentuh sesuatu, bahwa kau mendengar sesuatu, tidak berubah. Pengalaman pribadimu ini, bahwa kau merasakan sesuatu, apapun sesuatu itu, tetap ‘Ada’.”

“Seperti ‘Aku meragukan, maka aku ada’? Atau ‘Aku berpikir, maka aku ada’?”
“Mirip, tapi tidak serupa. Bukan hanya engkau yang ada. Segala bentuk pengalaman pribadimu ini, ada. Saat kau berpikir, kau menyadari, pengalaman pribadimu berisi berbagai hal.”
“Maksudmu, dengan ‘Aku berpikir’, maka ‘Kegiatan berpikir’-lah yang ada. Bukan hanya ‘Aku’ yang ada.”

Urmi mengangguk, tersenyum. “Jalan pikiran itu berlaku, bukan hanya untuk berpikir. Itu berlaku untuk segala kegiatanmu, seperti melihat, mendengar, berjalan atau bermain.”
Aku mengerti maksud Urmi. “Misalnya ‘Aku melihat bunga’. Itu berarti, paling sedikit, ada tiga jenis pengalaman pribadiku, yang ‘Ada’.”

Urmi mengangguk-angguk, aku melanjutkan, “Pertama, ada ‘Pengalaman pribadiku tentang aku’. Kedua, ada ‘Pengalaman pribadiku tentang melihat’. Dan ketiga, ada ‘Pengalaman pribadiku tentang bunga’.”
“Ha ha ha. Sebetulnya kau akan kesulitan memisahkan tiga hal itu. Tapi kira-kira begitulah.”

Aku coba menyimpulkan, “Meskipun hal yang kulakukan berubah-ubah, mulai dari berpikir, bermimpi, berjalan atau melihat, dengan objek yang juga berubah-ubah, mulai dari permata, bunga hingga tiada apapun juga, ‘Pengalaman pribadiku’ tetap saja ‘Ada’.”

Urmi tersenyum lebar. “Cara berpikirmu sudah mendekati cara berpikir Bangsa Nor.”
Aku tersenyum. Membayangkan diriku mengambang antara ada dan tiada... *