26 February 2009

Gelembung Kesadaran

Petikan surat Bindu:
Di atas awan, di puncak sebuah gunung, kembali aku berjumpa Urmi. Kami berbincang di teras sebuah pondok cantik. Entah bagaimana, pondok itu bisa berada di puncak gunung sepi ini.

Aku selalu terpikat pada gumpalan awan. Melihat hamparan luas awan di bawah sana, memicu rasa asing aneh di hatiku, “Sungguh misterius...”

Walau tidak melihat ke wajah Urmi, aku tahu dia tersenyum. Urmi menyambut, “Mungkin engkaulah yang misterius...”

Aku menengok, “Bagaimana mungkin aku misterius?”
“Karena gumpalan awan itu, adalah bagian dari dirimu.”

Aku tertawa, “Sebetulnya aku berharap, engkaulah yang bagian dari diriku. Bukan awan.”
Urmi mencondongkan wajahnya ke arahku, “Bukankah aku memang bagian dari dirimu?”
Aku menatap Urmi, “Engkau mulai membingungkan.”

“Bagi Bangsa Nor, kesadaran adalah satu kesatuan tak terpisahkan, Bindu.”

“Apa yang tak terpisahkan?”
“Engkau dengan lingkunganmu. Engkau dengan hal apapun yang memasuki alam kesadaranmu.”
“Tak terpisahkan?”

“Tak terpisahkan. Perhatikanlah alam kesadaranmu sekarang ini. Di dalamnya, ada sesuatu Yang Mengamati. Sesuatu Yang Menggerakkan. Anggap saja, itu engkau. Selain itu, juga ada Yang Diamati. Seperti citra awan itu, kesejukan udara ini, dan kehadiranku. Hal-hal yang biasa kau anggap sebagai objek. Engkau dan objek-objek ini, tak terpisahkan.”

“Aku ingat, kau pernah menjelaskan konsep ini, di lain kesempatan. Tapi begini, bukankah jelas bahwa aku terpisah dari objek-objek itu? Bukankah aku berada disini, sementara awan-awan itu berada disana? Bukankah aku berdiri di tepi teras ini, sementara kau duduk di kursi itu? Jelas-jelas kita terpisah.”

“Itu karena kau beranggapan, benda-benda fisik berada di luar, sementara dunia batinmu berada di dalam tubuh fisik. Kau memisahkan keduanya. Kau beranggapan, kesadaranmu berada di dalam otakmu.”

“Bukankah alam batinku memang berada dalam otakku? Hubungan alam batin dan otak, tampak jelas. Gangguan pada otak, akan menyebabkan gangguan pada kesadaran.”

Urmi tersenyum misterius, “Demikian juga Bindu, gangguan pada seruling, akan menyebabkan gangguan pada alunan tembang. Apakah itu berarti, senandung indah tembang itu, berada di dalam seruling?”

“Hm. Baiklah,” aku berjanji dalam hati, akan memikirkan hal itu lebih lanjut, “Bagaimana sesungguhnya, pandangan Bangsa Nor tentang kesadaran?”

“Bagi Bangsa Nor, kesadaran adalah ruang yang terjadi, antara engkau dan objek-objek. Kesadaran adalah gelembung, yang terbentuk antara Yang Mengamati dan Yang Diamati. Batas-batas gelembung kesadaran, adalah objek-objek itu. Citra itu. Suara itu. Sentuhan itu. Ingatan itu. Perasaan itu...”

“Itu berarti, menurut Bangsa Nor, aku bukan tubuh fisik ini.”

“Engkau adalah kesadaranmu. Itu berarti, engkau adalah ruang antara Yang Mengamati dan Yang Diamati. Engkau adalah ruang antara niatmu dan objek-objek disekitarmu.”

“Sebuah gelembung.”

“Ya. Untuk Bangsa Nor, tiap kesadaran adalah pencipta perbedaan. Tiap perbedaan itu, menghasilkan jarak. Jarak, adalah unsur utama ruang dan waktu. Demikianlah, kesadaranmu menciptakan gelembung kesadaran ruang dan waktu. Objek-objek di sekitarmu, laksana lukisan di bagian dalam dinding gelembung kesadaran.”

Aku coba memahami cara berpikir Urmi. Cara berpikir Bangsa Nor, “Ruang dalam gelembung, dan dinding gelembung itu, tidak mungkin dipisahkan.”

“Betul. Tanpa ruang, tidak akan ada gelembung kesadaran. Demikian juga, tanpa dinding, tidak akan ada gelembung kesadaran. Kesadaranmu mensyaratkan keberadaan Yang Mengamati dan Yang Diamati, bersama-sama. Tak terpisahkan.”

“Dari sudut pandang gelembung kesadaran, tiap objek adalah bagian dari diriku. Mereka adalah citra-citra di bagian dalam dinding gelembung kesadaranku.”

Urmi tersenyum senang, “Seperti yang kukatakan, aku memang bagian dari dirimu.”
Aku menghembuskan nafas. Bagaimanapun, ingatan tentang Urmi memang selalu kubawa kemanapun aku pergi. *