07 February 2009

Sombong

Petikan surat Bindu:
Bagi Bangsa Siluk, Mbah Rayung adalah pahlawan legendaris. Konon, demi kemerdekaan Bangsa Siluk, Mbah Rayung terjun ke banyak pertempuran.

Suatu hari, saat berdiskusi tentang sejarah Bangsa Siluk, Manu menyinggung keterlibatan Mbah Rayung. Kata Manu, “Tanpa Mbah Rayung, kondisi Negeri Siluk pasti sangat jauh berbeda.”

Aku menanggapi dengan heran, “Sungguh sulit aku membayangkan, Mbah Rayung ikut serta di sebuah pertempuran. Untuk apa Mbah Rayung bertempur? Bukankah jiwanya sudah berada pada tataran tanpa keinginan?”

Manu tertawa. “Sebetulnya, banyak jiwa bijaksana telah menyelenggarakan berbagai pertempuran. Tapi memang, pertempuran ala Mbah Rayung, mungkin beda dari apa yang kau bayangkan.”

“Lagipula,” aku menggeleng, “Siapakah lawannya? Siapa yang sepadan dengan Mbah Rayung? Siapa yang demikian berbahaya, demikian kuat dan demikian sakti, yang akhirnya memaksa Mbah Rayung turun tangan?”

Manu menarik napas panjang. “Seperti banyak bangsa lain di alam semesta, Bangsa Siluk pernah mengalami masa kegelapan... Pada masa itu, di hati sebagian warga Siluk, tumbuh sejumlah monster, berupa perasaan-perasaan aneh...”

“Perasaan aneh? Perasaan apa?”

“Perasaan, bahwa mereka menjadi pewaris tunggal kebenaran. Perasaan bahwa mereka tahu kebenaran mutlak. Dan berlandas perasaan itu, pihak lain yang tidak sependapat dengan mereka, harus dianggap salah mutlak.”

Aku diam. Merasa mengenali perasaan-perasaan itu. Apakah itu perasaan-perasaanku sendiri? Sambil mengamati gerak hatiku sendiri, aku meneliti wajah Manu. Seperti apakah, gerak hati seorang insan Siluk? Dimataku, Bangsa Siluk telah tumbuh menjadi bangsa ramah berhati sejuk.

Manu melanjutkan, “Berdasar perasaan-perasaan itu, mereka percaya, mereka berhak memaksakan pandangan mereka pada warga Siluk lain.”

“Mungkinkah perasaan mereka itu benar? Aku sulit membayangkan ada sebagian warga Siluk merasa lebih bijaksana daripada sebagian yang lain. Tapi mungkin mereka memang jauh lebih cerdas, jauh lebih berpengetahuan dan dengan demikian jauh lebih bijaksana daripada warga Siluk yang lain?”

“Itulah hal paling aneh dalam masalah ini. Mereka yang mengaku paling benar itu, sebetulnya tidak punya landasan objektif apapun.”

“Lho. Jadi, dengan dasar apa mereka menyatakan pihak lain salah? Dengan dasar apa mereka menilai, pihak lain tidak sebijaksana mereka?”

“Biasanya, mereka berpegang pada buku-buku, yang dinyatakan sebagai ‘Diturunkan oleh Yang Sempurna’. Mereka menyatakan lebih tahu tentang alam raya, masa lalu, masa kini dan masa datang, berdasar suatu teks. Berdasar buku.”

“Ya. Kau pernah sampaikan tentang buku-buku itu padaku. Buku-buku yang ternyata mengandung tiga jenis informasi saja: informasi keliru, informasi tidak penting, atau informasi yang tidak bisa dikonfirmasi.”

Manu membenarkan, “Kira-kira begitu. Perasaan mereka, sepenuhnya subjektif. Pandangan mereka, adalah pandangan-pandangan yang bisa diperdebatkan.”

Aku menyambung, “Jelas sekali bisa diperdebatkan, karena ada banyak buku yang mengaku ‘Diturunkan oleh Yang Sempurna’. Tiap-tiap buku punya doktrin tersendiri. Penafsiran tiap doktrin bermacam-macam, hingga muncul banyak pendapat dan kepercayaan. Semuanya, tanpa bukti atau landasan objektif.”

Manu mengangguk, “Begitulah. Maka aneh sekali, bila kelompok yang satu merasa lebih benar daripada kelompok lain, dan siap memaksakan penafsirannya pada kelompok lain.”

Aku ragu-ragu, melanjutkan, “Apakah mungkin... kelompok itu, kelompok yang merasa benar sendiri itu, sebenarnya telah kehilangan kemampuan menghargai insan-insan lain? Atau mungkin... mereka telah terlalu percaya pada dirinya sendiri...? Aku tidak percaya itu bisa terjadi pada Bangsa Siluk. Tapi...”

Manu tersenyum, “Lanjutkan saja, Bindu.”

“Bila kita menyadari keterbatasan kita, bukankah kita akan selalu rendah hati terhadap pendapat kita? Kita akan selalu mengatakan ‘Bisa saja saya salah, bisa saja insan lain benar, dan dengan demikian saya tidak berani memaksakan pandangan saya pada siapapun’...?”

Manu tersenyum lebar, “Begitulah Bindu. Para ilmuwan kami, akhirnya memang menetapkan kondisi mental ‘Merasa Benar Sendiri’ itu, sebagai sejenis penyakit jiwa berbahaya.”

“Penyakit jiwa? Astaga. Apakah dengan demikian, dalam pertempuran itu, Mbah Rayung memberantas insan-insan yang sebetulnya sakit? Alangkah malangnya mereka!”

Manu tertawa. “Tentu saja tidak begitu. Bukankah sudah kukatakan, Mbah Rayung adalah pahlawan kemerdekaan? Justru, dia membebaskan banyak insan dari aneka jenis penyakit jiwa. Lawan Mbah Rayung, adalah penyakit itu sendiri. Penyakit yang kemudian disebut ‘Sindrom Ketertutupan Pikiran Bercampur Perasaan Hebat Sempurna Mudhabhimana Kronis’.”

Aku meringis. Entah kenapa, nama penyakit itu terasa menggelikan. Tapi Manu belum selesai. Dia menambahkan, “Sama seperti berbagai penyakit lain, ada yang parah, ada juga yang ringan. Mbah Rayung bertempur melawan sumber gangguan itu, yang untuk mudahnya bisa dianggap sebagai sejenis virus mental.”

Aku membayangkan aksi mental Mbah Rayung. Saat kekuatan batinnya berhadapan dengan virus mental. Saat dia membebaskan banyak warga Siluk dari ketidakmampuan menghargai pandangan pihak lain.

“Mungkin aku punya istilah lebih sederhana untuk kelainan itu,” kataku pada Manu, “Bagaimana kalau disebut ‘Sindrom Super Sombong’ saja?”

Sementara Manu terbahak-bahak, aku termangu. Sungguh mengherankan, bangsa semaju dan sebijaksana Siluk, pernah punya masa silam seperti itu.

Lalu diam-diam, aku merasa malu dan khawatir. Dengan mengintip ke dalam hatiku sendiri, sebetulnya aku melihat, sejumlah gejala perasaan aneh...
Aku merasa... kondisi Siluk di zaman kegelapan, tidak terlalu asing... Astaga. Aku sungguh tidak tahu, apakah virus mental berbahaya itu, sudah dimusnahkan? Mudah-mudahan ada sejenis vaksinasi canggih di Negeri Siluk ini. *