Petikan surat Bindu:
Aku tiba di pondok kecil kediaman Mbah Rayung, di pinggir hutan, saat matahari baru saja terbit. Suasana sekitar memang menyenangkan. Udara sejuk berpadu dengan pemandangan indah.
Aku tiba di pondok kecil kediaman Mbah Rayung, di pinggir hutan, saat matahari baru saja terbit. Suasana sekitar memang menyenangkan. Udara sejuk berpadu dengan pemandangan indah.
Seperti biasa, Mbah Rayung sudah tahu kedatanganku. Pintu dibuka sebelum aku masuk ke pekarangan.
Singkat kata, setelah duduk dan berbincang sejenak, Mbah Rayung menyentuh keningku dengan jempolnya. Tiba-tiba saja, aku menyaksikan kami berdua, aku dan Mbah Rayung, telah berdiri di tepi sebuah sungai...
Anehnya, air sungai itu berpendar indah. Saat menengadah, aku melihat benda mirip Planet Saturnus, mendominasi pemandangan di langit. Selain itu, dua buah bintang besar cemerlang, bersinar di angkasa. Indah sekali!
Singkat kata, setelah duduk dan berbincang sejenak, Mbah Rayung menyentuh keningku dengan jempolnya. Tiba-tiba saja, aku menyaksikan kami berdua, aku dan Mbah Rayung, telah berdiri di tepi sebuah sungai...
Anehnya, air sungai itu berpendar indah. Saat menengadah, aku melihat benda mirip Planet Saturnus, mendominasi pemandangan di langit. Selain itu, dua buah bintang besar cemerlang, bersinar di angkasa. Indah sekali!
Lalu aku menyadari, kami berada dalam sebuah kubah raksasa. Kubah tembus pandang itu, didukung kerangka geometris tipis menakjubkan. Teknologi yang belum aku kenal.
Tak lama kemudian, sosok yang tak asing lagi, mewujud dihadapan kami berdua. Kenalan lama, bernama Manu. Kami memang punya janji pertemuan. Tapi aku tak menyangka, akan bertemu dia di tempat eksotik ini. Kuduga, inilah kampung halaman Manu.
Setelah saling memberi salam, kami berbincang-bincang (Aku merasa, istilah ‘berbincang-bincang’ kurang tepat. Mungkin lebih tepat ‘tukar menukar pengertian’. Aku sungguh tidak mampu menjelaskan, bentuk bahasa yang kami pakai disini). Dengan tafsir bebas, salah satu ‘perbincangan’, berlangsung kira-kira sebagai berikut...
Manu menunjuk sebuah buku di atas meja, “Bindu, kau tahu apa itu?”
Tidak mengerti maksud Manu, aku menggeleng.
Tidak mengerti maksud Manu, aku menggeleng.
Manu melanjutkan, “Itu simbol salah satu cara berpikir. Gagasan dari buku itu, menguasai hidup sebagian besar penduduk negeri ini, sepanjang ratusan generasi. Pada suatu masa, informasi dalam buku itu dinilai tak terbantahkan dan mengandung kebenaran final. Dikatakan, buku itu datang langsung dari Yang Sempurna.”
“Langsung dari Yang Sempurna? Siapa yang mengatakan itu?”
Manu tersenyum, “Buku itu sendiri. Itu disebut di dalam buku.”
“Bukankah klaim seperti itu, sangat subyektif? Mengandung konflik kepentingan, dan dengan demikian, meragukan?”
“Dulu, klaim itu terasa normal. Sekarang, tentu saja, tak satupun warga negeri ini, percaya pada klaim itu.”
“Begitukah?”
“Tak terhindarkan. Bagaimanapun, sejumlah jiwa kritis bisa melihat, klaim-klaim buku itu sebetulnya sangat meragukan, tidak layak dipercaya.”
Aku membayangkan bagaimana itu terjadi, “Klaim-klaim dalam buku itu, akhirnya disadari, tidak sesuai dengan kenyataan.”
“Tepat. Setelah beberapa milenium, hampir seluruh penduduk negeri ini menyadari, sebagian klaim di buku itu, keliru.”
“Sebagian klaim?”
“Betul. Sebagian klaim, keliru.”
“Lalu, sebagian yang lain?”
Manu tersenyum, “Sebagian yang lain, tidak berharga.”
“Apa maksud tidak berharga?”
“Maksudnya, sebagian klaim di buku itu, tidak punya makna apa-apa. Tidak menambah pengetahuan kami. Disini, kami menyebut klaim-klaim seperti itu, informasi tidak berharga.”
“Bisa beri contoh?”
Manu tampak senang, “Baik. Misalnya buku itu menyebutkan ‘Aku Yang Sempurna, pencipta bintang-bintang’. Atau, ‘Aku pencipta sungai. Air telah turun, untuk kamu minum.’ Buku itu, penuh dengan klaim-klaim semacam itu.”
“Mengapa klaim seperti itu dianggap tidak berarti?”
“Pernyataan-pernyataan seperti itu, tidak menambah pemahaman kami tentang alam semesta. Perhatikan contoh ‘Aku Yang Sempurna, pencipta bintang-bintang’. Klaim itu, tidak bisa dikonfirmasi dengan cara apapun.”
“Apakah bisa dibuktikan, bahwa klaim itu salah?”
“Memang tidak bisa,” Manu menampilkan ekspresi serius, “Tapi sebetulnya, pencipta bintang-bintang bukan Yang Sempurna, melainkan Dewa Zeus.”
“Langsung dari Yang Sempurna? Siapa yang mengatakan itu?”
Manu tersenyum, “Buku itu sendiri. Itu disebut di dalam buku.”
“Bukankah klaim seperti itu, sangat subyektif? Mengandung konflik kepentingan, dan dengan demikian, meragukan?”
“Dulu, klaim itu terasa normal. Sekarang, tentu saja, tak satupun warga negeri ini, percaya pada klaim itu.”
“Begitukah?”
“Tak terhindarkan. Bagaimanapun, sejumlah jiwa kritis bisa melihat, klaim-klaim buku itu sebetulnya sangat meragukan, tidak layak dipercaya.”
Aku membayangkan bagaimana itu terjadi, “Klaim-klaim dalam buku itu, akhirnya disadari, tidak sesuai dengan kenyataan.”
“Tepat. Setelah beberapa milenium, hampir seluruh penduduk negeri ini menyadari, sebagian klaim di buku itu, keliru.”
“Sebagian klaim?”
“Betul. Sebagian klaim, keliru.”
“Lalu, sebagian yang lain?”
Manu tersenyum, “Sebagian yang lain, tidak berharga.”
“Apa maksud tidak berharga?”
“Maksudnya, sebagian klaim di buku itu, tidak punya makna apa-apa. Tidak menambah pengetahuan kami. Disini, kami menyebut klaim-klaim seperti itu, informasi tidak berharga.”
“Bisa beri contoh?”
Manu tampak senang, “Baik. Misalnya buku itu menyebutkan ‘Aku Yang Sempurna, pencipta bintang-bintang’. Atau, ‘Aku pencipta sungai. Air telah turun, untuk kamu minum.’ Buku itu, penuh dengan klaim-klaim semacam itu.”
“Mengapa klaim seperti itu dianggap tidak berarti?”
“Pernyataan-pernyataan seperti itu, tidak menambah pemahaman kami tentang alam semesta. Perhatikan contoh ‘Aku Yang Sempurna, pencipta bintang-bintang’. Klaim itu, tidak bisa dikonfirmasi dengan cara apapun.”
“Apakah bisa dibuktikan, bahwa klaim itu salah?”
“Memang tidak bisa,” Manu menampilkan ekspresi serius, “Tapi sebetulnya, pencipta bintang-bintang bukan Yang Sempurna, melainkan Dewa Zeus.”
Aku terpingkal-pingkal, “Bercanda kan? Apa dasarnya? Apa buktinya?”
Manu tersenyum, “Apakah bisa dibuktikan, bahwa klaim itu salah?”
Aku mengerti maksud Manu. Klaim yang dia sebutkan, tidak bisa disalahkan. Tapi dengan demikian, juga tidak bisa dibenarkan. Klaim-klaim seperti itu, tidak berhubungan dengan kenyataan. Bagi mereka, klaim-klaim sejenis, simply tidak berharga.
“Jenis lain klaim tak berharga,” lanjut Manu, “Klaim yang ‘semua orang juga sudah tahu’. Misalnya klaim ‘Air telah turun, untuk kamu minum’. Sejujurnya, aku belum menemukan warga negeri ini, yang tidak tahu, bahwa dia perlu minum air.”
“Mungkin kau tidak serius mencari?”
Manu terbahak-bahak, “Bindu, kami tidak perlu buku dari Yang Sempurna, untuk memberi tahu kami hal semacam itu. Itu informasi tanpa guna.”
Aku belum menyerah,“Manu, apa salahnya tanpa guna?”
“Bayangkan ini. Suatu hari, seorang asing datang kepadamu. Dia mengaku ahli di bidang astronomi. Entah mengapa, dia bermaksud mengajarimu ilmu astronomi. Walau heran, kau setuju dan mengundang orang itu masuk ke rumahmu. Tapi sebelumnya, apa gambaranmu tentang ahli astronomi?”
“Ahli astronomi? Hm. Pria berjenggot. Punya teropong pribadi di belakang rumah. Mengetahui hukum-hukum utama gerak benda-benda langit. Mengenal sifat ribuan jenis benda angkasa, mulai dari materi gelap hingga lubang hitam.”
”Baiklah. Maka kau persilakan si ahli astronomi berbicara. Satu jam kemudian, kau berulangkali mendengar dia mengatakan ‘Matahari terbit di sebelah timur’ dan ‘Bulan tampak indah dari bukit ini’ atau ‘Siang selalu diikuti malam, dan malam diikuti siang’. Bagaimana pendapatmu?”
Aku tersenyum, “Mungkin saya akan berteriak ‘Anda buang-buang waktu saya!’.”
“Begitulah.”
Aku berpikir, “Mungkin ahli astronomi itu, eh, rendah hati.”
Manu tertawa, “Tapi dia menawarkan diri, untuk mengajarimu tentang astronomi.”
“Mungkin dia menguji saya. Dia ingin tahu, mampukah saya tetap percaya pada dia, meskipun dia telah tampil idiot. Mungkin setelah itu dia akan bertanya, ‘Mana yang kau percaya, saya atau bukti-bukti?’ Begitu.”
Manu terpingkal-pingkal, “Singkatnya, orang asing itu tak mampu tampil meyakinkan sebagai ahli astronomi. Jadi, satu hal tampak jelas disini.”
“Apa itu?”
“Telah muncul keraguan di dalam hatimu.”
“Ya, itu jelas. Sudah muncul keraguan. Lalu kenapa?”
“Pikiran dan hatimu, mulai menuntut penjelasan.”
“Mungkin. Atau, aku anggap saja itu sebagai lelucon.”
“Pertimbangkan lagi. Sebetulnya, kau punya janji pertemuan dengan kekasihmu yang cantik. Tapi si ahli astronomi itu, dengan agak memaksa, memintamu mendengarkan dia bicara, satu hari penuh.”
“Aku akan lempar dia keluar dari rumah.”
“Tepat sekali. Itulah yang terjadi di negeri ini, sekitar tiga ratus tahun lalu. Kesabaran sudah habis. Mayoritas penduduk telah sadar. Kami lemparkan ahli gadungan itu keluar dari rumah.”
“Tapi Manu, saya penasaran. Sebetulnya pengetahuan super seperti apa, yang kalian harapkan? Jangan-jangan, informasi dalam buku itu sebetulnya sudah hebat? Jangan-jangan, harapan kalian terlalu tinggi?”
Wajah mozaik Manu, kini menampilkan ekpresi prihatin, “Wahai Bindu, mana mungkin? Kau berbicara tentang Yang Sempurna. Setidaknya, pahamilah konsep ‘Yang Sempurna’. Tak ada harapan yang terlalu tinggi untuk Yang Sempurna! Dia lebih sempurna, daripada harapan apapun yang bisa dilayangkan!”
“Aku mendengarkan.”
“Jangan bela Yang Sempurna. Dengan membelanya, kau menempatkan Yang Sempurna sebagai Yang Lemah. Bila suatu informasi memang datang dari Yang Sempurna, informasi itu akan tampil sempurna, dan segenap penduduk negeri ini tanpa ragu akan tunduk dihadapannya!”
“Baiklah. Jadi klaim buku itu, sama sekali tidak sepadan dengan klaim Yang Sempurna.”
“Bukan hanya tidak sepadan. Hampir seluruh informasi dalam buku itu, inferior dibanding pengetahuan umum.”
“Bisa dijelaskan?”
“Lingkup pengetahuan buku itu, sangat terbatas. Seperti pengetahuan yang dimiliki sekelompok penduduk, di salah satu wilayah kecil, beberapa milenium lalu.”
“Penulis buku tidak tahu hal-hal yang berada diluar wilayahnya. Apalagi diluar zamannya.”
“Betul. Buku itu mengaku tahu proses penciptaan alam semesta. Meskipun demikian, tidak ada informasi apapun, misalnya, tentang posisi negeri ini terhadap matahari kembar kami.”
“Mungkin pengetahuan itu terlalu maju?”
“Tepat sekali. Pengetahuan masa kini, terlalu maju untuk buku itu. Padahal, adakah pengetahuan yang terlalu maju bagi Yang Sempurna?”
“Hm...”
“Contoh lain, buku itu bahkan tidak tahu, panjang hari di belahan lain negeri ini, berbeda dari panjang hari di dusun tempat buku itu turun.”
“Alangkah terbatasnya.”
“Dan berbahaya. Buku itu mengharuskan para pengikutnya, melaksanakan sejumlah ritual, berdasarkan panjang hari. Bayangkan, bagaimana perang terjadi di masa lalu, ketika wilayah-wilayah dengan panjang hari berbeda, menolak melakukan ritual tersebut.”
“Terjadilah pembantaian.”
“Demikianlah zaman kegelapan dibawa masuk oleh buku itu.”
“Tentu ada sisi baik buku itu?”
“Perhatikan Bindu. Tak terhitung penduduk negeri ini, disebut Ahli Buku, mengorbankan tenaga, pikiran dan waktu, mempelajari isi buku itu. Coba pertimbangkan, bila buku itu memang mengandung pengetahuan sempurna maha tinggi, apa dampaknya?”
“Para Ahli Buku akan jadi mahluk-mahluk super, dengan pengetahuan maha tinggi, tak terbedakan dengan dewa.”
“Tepat sekali. Tapi kenyataannya, dibandingkan dengan ilmuwan manapun, pemahaman para Ahli Buku tentang alam semesta, jauh tertinggal.”
Aku coba pikirkan sudut pandang lain, “Mungkin begini. Buku itu memang berasal dari Yang Sempurna. Tapi isi buku, disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman penduduk saat itu.”
Manu tersenyum, “Itu salah satu kemungkinan. Tahukah engkau, konsekuensi kemungkinan itu?”
Aku menghembuskan napas, “Ya. Itu artinya, pengetahuan yang turun lewat buku itu, lagi-lagi, pengetahuan biasa. Bukan pengetahuan super.”
“Disini, kami telah pertimbangkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, buku itu datang dari Yang Sempurna, tapi berisi informasi biasa. Kemungkinan kedua, buku itu karya manusia biasa, karena itu berisi informasi biasa. Dengan kata lain sama saja, pengetahuan buku itu, tidak istimewa.”
“Bisa dihasilkan oleh banyak warga negeri ini, tanpa klaim macam-macam.”
“Tepat. Klaim-klaim tentang keistimewaan buku itu, jadi tidak bermakna. Tanpa buku itu, peradaban negeri ini mungkin jauh lebih cepat maju.”
Aku merenung sejenak, “Tapi Manu tetap saja, kemungkinan bahwa buku itu datang dari Yang Sempurna, tidak bisa dihapuskan, bukan?”
Manu tersenyum senang, “Sebetulnya, apa definisi ‘Datang dari Yang Sempurna’? Perhatikan kubah di atas kita. Bisa saja kubah itu ‘Datang dari Yang Sempurna’ kan? Tapi datang melalui pikiran dan tangan para insinyur kami. Percakapan inipun, bisa ‘Datang dari Yang Sempurna’. Datang melalui dirimu dan diriku. Nah, kau lihat koleksi buku-buku disana?”
Aku melihat ke arah citra tiga dimensi yang berkelebat-kelebat, sejenis sistem arsip yang menakjubkan. Tiba-tiba, dua berkas cahaya menari-nari di dekat kami, membuatku menyadari kehadiran dua kelompok buku.
Manu mengangguk, “Ada perbedaan menarik diantara dua kelompok buku itu.”
“Apa itu?”
“Salah satu kelompok, berisi buku-buku yang mengaku ‘Datang dari Yang Sempurna’. Kelompok lain, adalah buku-buku biasa, karya sastra para penulis negeri ini.”
“Di mataku, dua kelompok itu terlihat serupa. Yang manakah, kumpulan buku sastra biasa?”
Manu tersenyum, “Itulah pertanyaannya, kawanku Bindu. Dilihat dari materinya, secara obyektif, karya yang mengaku ‘Datang dari Yang Sempurna’ tidak bisa dibedakan dari karya sastra biasa.”
“Tak ada bedanya?”
“Kalau mau, para sastrawan kami bisa saja mengaku, karyanya terinspirasi pengetahuan maha tinggi.”
“Baiklah Manu. Apakah kau mau mengatakan, ada penulis buku yang berbohong, dengan mengatakan karyanya ‘Datang dari Yang Sempurna’?”
“Tidak. Kami tidak bisa mengetahui, motivasi dibalik pengakuan-pengakuan itu. Kami hanya menyadari, informasi dalam buku-buku semacam itu, tidak istimewa. Tiga ratus tahun lalu, buku-buku itu, kami anggap karya sastra biasa.”
“Konsekuensinya?”
“Tidak boleh lagi ada pernyataan seperti: buku ini ‘Datang dari Yang Sempurna’ maka semua insan harus mengikuti ajarannya. Tak boleh lagi ada klaim, buku ini atau buku itu merupakan ‘Kata akhir dari Yang Sempurna’. Tak ada lagi yang boleh menyombongkan diri, memiliki informasi yang lebih benar, lebih tinggi, daripada yang lain. Sejak itu, peradaban kami, secara etika dan teknologi, maju dengan sangat pesat.”
“Kenapa kau bercerita tentang semua ini, Manu?”
Manu tampak serius, “Karena aku menyayangi peradabanmu, Bindu. Aku berbagi pengalaman, untuk menunjukkan betapa kuatnya sebuah gagasan, betapapun buruknya gagasan itu, bisa menggenggam dan mempengaruhi segala sisi kehidupan kita. Dan gagasan buruk, bisa sangat berbahaya bagi peradabanmu.”
Aku melihat kearah Mbah Rayung, yang sejak tadi diam saja. Rupanya, Si Mbah sama sekali tidak peduli percakapan ini. Duduk bersila dengan mata terpejam, Mbah Rayung melayang beberapa jengkal diatas dipan... *
Manu tersenyum, “Apakah bisa dibuktikan, bahwa klaim itu salah?”
Aku mengerti maksud Manu. Klaim yang dia sebutkan, tidak bisa disalahkan. Tapi dengan demikian, juga tidak bisa dibenarkan. Klaim-klaim seperti itu, tidak berhubungan dengan kenyataan. Bagi mereka, klaim-klaim sejenis, simply tidak berharga.
“Jenis lain klaim tak berharga,” lanjut Manu, “Klaim yang ‘semua orang juga sudah tahu’. Misalnya klaim ‘Air telah turun, untuk kamu minum’. Sejujurnya, aku belum menemukan warga negeri ini, yang tidak tahu, bahwa dia perlu minum air.”
“Mungkin kau tidak serius mencari?”
Manu terbahak-bahak, “Bindu, kami tidak perlu buku dari Yang Sempurna, untuk memberi tahu kami hal semacam itu. Itu informasi tanpa guna.”
Aku belum menyerah,“Manu, apa salahnya tanpa guna?”
“Bayangkan ini. Suatu hari, seorang asing datang kepadamu. Dia mengaku ahli di bidang astronomi. Entah mengapa, dia bermaksud mengajarimu ilmu astronomi. Walau heran, kau setuju dan mengundang orang itu masuk ke rumahmu. Tapi sebelumnya, apa gambaranmu tentang ahli astronomi?”
“Ahli astronomi? Hm. Pria berjenggot. Punya teropong pribadi di belakang rumah. Mengetahui hukum-hukum utama gerak benda-benda langit. Mengenal sifat ribuan jenis benda angkasa, mulai dari materi gelap hingga lubang hitam.”
”Baiklah. Maka kau persilakan si ahli astronomi berbicara. Satu jam kemudian, kau berulangkali mendengar dia mengatakan ‘Matahari terbit di sebelah timur’ dan ‘Bulan tampak indah dari bukit ini’ atau ‘Siang selalu diikuti malam, dan malam diikuti siang’. Bagaimana pendapatmu?”
Aku tersenyum, “Mungkin saya akan berteriak ‘Anda buang-buang waktu saya!’.”
“Begitulah.”
Aku berpikir, “Mungkin ahli astronomi itu, eh, rendah hati.”
Manu tertawa, “Tapi dia menawarkan diri, untuk mengajarimu tentang astronomi.”
“Mungkin dia menguji saya. Dia ingin tahu, mampukah saya tetap percaya pada dia, meskipun dia telah tampil idiot. Mungkin setelah itu dia akan bertanya, ‘Mana yang kau percaya, saya atau bukti-bukti?’ Begitu.”
Manu terpingkal-pingkal, “Singkatnya, orang asing itu tak mampu tampil meyakinkan sebagai ahli astronomi. Jadi, satu hal tampak jelas disini.”
“Apa itu?”
“Telah muncul keraguan di dalam hatimu.”
“Ya, itu jelas. Sudah muncul keraguan. Lalu kenapa?”
“Pikiran dan hatimu, mulai menuntut penjelasan.”
“Mungkin. Atau, aku anggap saja itu sebagai lelucon.”
“Pertimbangkan lagi. Sebetulnya, kau punya janji pertemuan dengan kekasihmu yang cantik. Tapi si ahli astronomi itu, dengan agak memaksa, memintamu mendengarkan dia bicara, satu hari penuh.”
“Aku akan lempar dia keluar dari rumah.”
“Tepat sekali. Itulah yang terjadi di negeri ini, sekitar tiga ratus tahun lalu. Kesabaran sudah habis. Mayoritas penduduk telah sadar. Kami lemparkan ahli gadungan itu keluar dari rumah.”
“Tapi Manu, saya penasaran. Sebetulnya pengetahuan super seperti apa, yang kalian harapkan? Jangan-jangan, informasi dalam buku itu sebetulnya sudah hebat? Jangan-jangan, harapan kalian terlalu tinggi?”
Wajah mozaik Manu, kini menampilkan ekpresi prihatin, “Wahai Bindu, mana mungkin? Kau berbicara tentang Yang Sempurna. Setidaknya, pahamilah konsep ‘Yang Sempurna’. Tak ada harapan yang terlalu tinggi untuk Yang Sempurna! Dia lebih sempurna, daripada harapan apapun yang bisa dilayangkan!”
“Aku mendengarkan.”
“Jangan bela Yang Sempurna. Dengan membelanya, kau menempatkan Yang Sempurna sebagai Yang Lemah. Bila suatu informasi memang datang dari Yang Sempurna, informasi itu akan tampil sempurna, dan segenap penduduk negeri ini tanpa ragu akan tunduk dihadapannya!”
“Baiklah. Jadi klaim buku itu, sama sekali tidak sepadan dengan klaim Yang Sempurna.”
“Bukan hanya tidak sepadan. Hampir seluruh informasi dalam buku itu, inferior dibanding pengetahuan umum.”
“Bisa dijelaskan?”
“Lingkup pengetahuan buku itu, sangat terbatas. Seperti pengetahuan yang dimiliki sekelompok penduduk, di salah satu wilayah kecil, beberapa milenium lalu.”
“Penulis buku tidak tahu hal-hal yang berada diluar wilayahnya. Apalagi diluar zamannya.”
“Betul. Buku itu mengaku tahu proses penciptaan alam semesta. Meskipun demikian, tidak ada informasi apapun, misalnya, tentang posisi negeri ini terhadap matahari kembar kami.”
“Mungkin pengetahuan itu terlalu maju?”
“Tepat sekali. Pengetahuan masa kini, terlalu maju untuk buku itu. Padahal, adakah pengetahuan yang terlalu maju bagi Yang Sempurna?”
“Hm...”
“Contoh lain, buku itu bahkan tidak tahu, panjang hari di belahan lain negeri ini, berbeda dari panjang hari di dusun tempat buku itu turun.”
“Alangkah terbatasnya.”
“Dan berbahaya. Buku itu mengharuskan para pengikutnya, melaksanakan sejumlah ritual, berdasarkan panjang hari. Bayangkan, bagaimana perang terjadi di masa lalu, ketika wilayah-wilayah dengan panjang hari berbeda, menolak melakukan ritual tersebut.”
“Terjadilah pembantaian.”
“Demikianlah zaman kegelapan dibawa masuk oleh buku itu.”
“Tentu ada sisi baik buku itu?”
“Perhatikan Bindu. Tak terhitung penduduk negeri ini, disebut Ahli Buku, mengorbankan tenaga, pikiran dan waktu, mempelajari isi buku itu. Coba pertimbangkan, bila buku itu memang mengandung pengetahuan sempurna maha tinggi, apa dampaknya?”
“Para Ahli Buku akan jadi mahluk-mahluk super, dengan pengetahuan maha tinggi, tak terbedakan dengan dewa.”
“Tepat sekali. Tapi kenyataannya, dibandingkan dengan ilmuwan manapun, pemahaman para Ahli Buku tentang alam semesta, jauh tertinggal.”
Aku coba pikirkan sudut pandang lain, “Mungkin begini. Buku itu memang berasal dari Yang Sempurna. Tapi isi buku, disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman penduduk saat itu.”
Manu tersenyum, “Itu salah satu kemungkinan. Tahukah engkau, konsekuensi kemungkinan itu?”
Aku menghembuskan napas, “Ya. Itu artinya, pengetahuan yang turun lewat buku itu, lagi-lagi, pengetahuan biasa. Bukan pengetahuan super.”
“Disini, kami telah pertimbangkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, buku itu datang dari Yang Sempurna, tapi berisi informasi biasa. Kemungkinan kedua, buku itu karya manusia biasa, karena itu berisi informasi biasa. Dengan kata lain sama saja, pengetahuan buku itu, tidak istimewa.”
“Bisa dihasilkan oleh banyak warga negeri ini, tanpa klaim macam-macam.”
“Tepat. Klaim-klaim tentang keistimewaan buku itu, jadi tidak bermakna. Tanpa buku itu, peradaban negeri ini mungkin jauh lebih cepat maju.”
Aku merenung sejenak, “Tapi Manu tetap saja, kemungkinan bahwa buku itu datang dari Yang Sempurna, tidak bisa dihapuskan, bukan?”
Manu tersenyum senang, “Sebetulnya, apa definisi ‘Datang dari Yang Sempurna’? Perhatikan kubah di atas kita. Bisa saja kubah itu ‘Datang dari Yang Sempurna’ kan? Tapi datang melalui pikiran dan tangan para insinyur kami. Percakapan inipun, bisa ‘Datang dari Yang Sempurna’. Datang melalui dirimu dan diriku. Nah, kau lihat koleksi buku-buku disana?”
Aku melihat ke arah citra tiga dimensi yang berkelebat-kelebat, sejenis sistem arsip yang menakjubkan. Tiba-tiba, dua berkas cahaya menari-nari di dekat kami, membuatku menyadari kehadiran dua kelompok buku.
Manu mengangguk, “Ada perbedaan menarik diantara dua kelompok buku itu.”
“Apa itu?”
“Salah satu kelompok, berisi buku-buku yang mengaku ‘Datang dari Yang Sempurna’. Kelompok lain, adalah buku-buku biasa, karya sastra para penulis negeri ini.”
“Di mataku, dua kelompok itu terlihat serupa. Yang manakah, kumpulan buku sastra biasa?”
Manu tersenyum, “Itulah pertanyaannya, kawanku Bindu. Dilihat dari materinya, secara obyektif, karya yang mengaku ‘Datang dari Yang Sempurna’ tidak bisa dibedakan dari karya sastra biasa.”
“Tak ada bedanya?”
“Kalau mau, para sastrawan kami bisa saja mengaku, karyanya terinspirasi pengetahuan maha tinggi.”
“Baiklah Manu. Apakah kau mau mengatakan, ada penulis buku yang berbohong, dengan mengatakan karyanya ‘Datang dari Yang Sempurna’?”
“Tidak. Kami tidak bisa mengetahui, motivasi dibalik pengakuan-pengakuan itu. Kami hanya menyadari, informasi dalam buku-buku semacam itu, tidak istimewa. Tiga ratus tahun lalu, buku-buku itu, kami anggap karya sastra biasa.”
“Konsekuensinya?”
“Tidak boleh lagi ada pernyataan seperti: buku ini ‘Datang dari Yang Sempurna’ maka semua insan harus mengikuti ajarannya. Tak boleh lagi ada klaim, buku ini atau buku itu merupakan ‘Kata akhir dari Yang Sempurna’. Tak ada lagi yang boleh menyombongkan diri, memiliki informasi yang lebih benar, lebih tinggi, daripada yang lain. Sejak itu, peradaban kami, secara etika dan teknologi, maju dengan sangat pesat.”
“Kenapa kau bercerita tentang semua ini, Manu?”
Manu tampak serius, “Karena aku menyayangi peradabanmu, Bindu. Aku berbagi pengalaman, untuk menunjukkan betapa kuatnya sebuah gagasan, betapapun buruknya gagasan itu, bisa menggenggam dan mempengaruhi segala sisi kehidupan kita. Dan gagasan buruk, bisa sangat berbahaya bagi peradabanmu.”
Aku melihat kearah Mbah Rayung, yang sejak tadi diam saja. Rupanya, Si Mbah sama sekali tidak peduli percakapan ini. Duduk bersila dengan mata terpejam, Mbah Rayung melayang beberapa jengkal diatas dipan... *
aku suka kalimat 'jangan bela Yang Sempurna. Dengan membelanya, menempatkan Yang Sempurna ditempat yang lemah' :) tq miko..give me a little insight for today.
ReplyDeleteSbnrnya sebutan Yang Sempurna juga baru ada kalo Yang tidak sempurna juga ada..seperti diamati-mengamati. Siapa mengamati siapa atau siapa diamati siapa?
Yang tidak sempurna berani mengamati Yang Sempurna, dan Yang Sempurna sendiri selalu mengamati 'ketidaksempurnaan' dari dirinya, yaitu semua yang tidak sempurna.
Jadi ini posting pertama Bindu, menarik sekali cara Manu dan Bindu menjelaskan fenomena yg "sempurna"... sederhara, kritis sekaligus logis. gw suka cara lo membabarkan argumen... perjalanan membaca jadi menyenangkan.
ReplyDelete