09 January 2009

Hak Bertanya

Petikan surat Bindu:
Aku dan Manu, berjalan santai di tepi sungai cahaya. Beberapa jenis mahluk, seperti bola-bola cahaya aneka warna, bergerak lincah di tengah sungai.

Aku ingat perbincangan sebelum ini. Manu mengatakan, pada suatu masa, doktrin dari sejumlah buku, membelenggu kehidupan penduduk negeri ini. Buku-buku itu, mengaku berasal dari ‘Yang Sempurna’. Baru sekitar tiga ratus tahun lalu, mereka bebas dari belenggu. Mereka akhirnya menyadari, isi buku-buku itu sebetulnya memiliki dua kualitas saja: keliru atau dangkal.

Aku agak heran. Bila memang dangkal, mengapa isi buku-buku itu bisa menggenggam hidup jutaan jiwa, sepanjang ratusan generasi? Waktu itu Manu menjawab, “Karena ancaman. Perhatikan isi salah satu buku: ‘Aku Yang Sempurna. Aku mengutuk dan menjatuhkan penderitaan, untuk mereka yang meragukan Aku’. Bagaimanapun, kami punya rasa takut.”

Aku belum puas. Di tepi sungai itu, setelah berpikir sejenak, kusampaikan lagi pandanganku, “Manu, bila buku-buku itu memang berasal dari Yang Sempurna, bukankah terserah pada Yang Sempurna, untuk menentukan informasi yang akan disampaikan?”
Manu diam, maka aku melanjutkan, “Bagaimana bisa, kita menilai isi buku-buku itu keliru, atau dangkal, atau tak mencukupi? Mengapa kita beranggapan isi buku-buku itu harus begini, atau harus begitu? Mengapa kita sok pintar?”
Aku memandang wajah mozaik Manu, menambahkan, “Bukankah seharusnya, kita tinggal terima saja? Seharusnya kita percaya saja? Dialah Yang Sempurna, sementara kita Yang Tidak Sempurna. Dia lebih tahu kebutuhan kita. Apa hak kita, untuk bertanya?”

Manu tersenyum, memandangku, lalu melemparkan pandangan ke angkasa, “Aku punya pandangan, tentang hak bertanya itu. Akan kusampaikan padamu. Tapi sebelumnya, bolehkah aku menceritakan sebuah dongeng, yang sangat terkenal disini? Dongeng yang dikenal sebagai kisah tujuh pintu.”
“Tentu saja.”

“Alkisah, pada zaman sebelum sejarah dimulai, di sebuah pulau kecil, hidup seorang guru terkenal. Dia dianggap bisa membentuk anak-anak nakal, menjadi muda-mudi impian. Para orang tua, biasa menyerahkan anak-anak mereka pada guru ini.”
Dalam hati aku tersenyum. Di tempat seperti ini, tetap saja aku mendengar kisah, yang mengingatkan aku pada bumi.

Manu melanjutkan, “Setiap tahun, Sang Guru menyelenggarakan sebuah permainan. Setiap murid, walau masih kecil, harus ikut serta.”
“Aku tak menyangka menemukan kisah tentang orang tua dan anak-anak, di tempat ini.”
Manu tampak senang, “Kau akan heran, menemukan betapa banyak kisah sejenis itu, disini. Nah, permainan Sang Guru, adalah permainan mencari harta karun. Dalam permainan, para murid dihadapkan pada tujuh buah pintu. Dibalik salah satu pintu, terdapat harta karun, berupa rahasia pengetahuan Sang Guru.”

“Menarik juga. Apa petunjuknya?”
“Di depan setiap pintu, terdapat papan pengumuman, berisi promosi tentang pintu tersebut.”
“Bagaimana kita tahu, pengumuman itu benar?”
“Tidak bisa dilakukan dari luar. Satu-satunya jalan, dengan masuk ke pintu tersebut.”
“Oh begitu. Kalau begitu mudah. Uji saja, dari pintu ke pintu. Bila satu pintu terbukti tidak benar, kita pindah ke pintu berikutnya.”

“Sayangnya, tidak bisa begitu. Setelah masuk ke salah satu pintu, si anak tidak bisa keluar lagi. Anak itu menjadi milik pintu itu.”
“Lho, jadi bagaimana cara para murid menentukan, pintu dengan pengumuman yang benar?”
“Berdasar keyakinan. Atau intuisi. Atau keberuntungan.”

“Astaga. Absurd sekali! Tapi baiklah, toh ini hanya permainan saja. Apa yang terjadi, bila seorang anak masuk ke pintu yang salah?”
“Sang Guru menyediakan ular-ular raksasa berbisa, dibalik enam pintu yang salah. Anak-anak yang salah perhitungan, akan menderita, menjadi mangsa ular-ular berbisa.”

“Alangkah mengerikan!” Aku terlonjak, “Dan betapa menyeramkan guru itu! Kenapa dia bisa terkenal? Sungguh tidak bermoral. Dan orang tua yang tega membawa anak mereka kepada guru itu, pasti orang tua tidak bertanggung jawab. Apa maksud cerita ini? Untunglah itu hanya dongeng saja!”

“Sesungguhnya, itu bukan dongeng.”
“Apa?”
“Itulah konsep yang dibawa beberapa buku. Buku-buku yang mengaku berasal dari Yang Sempurna.”
“Maksudmu?”

“Buku-buku itu minta kami percaya, tanpa bukti. Minta kami masuk ke sebuah pintu, hanya berdasar kepercayaan atau intuisi.”
Manu diam lalu melanjutkan, “Untuk mereka yang tidak percaya, tiap buku menjanjikan ancaman mengerikan. Jauh lebih mengerikan, daripada sekedar jadi mangsa ular berbisa.”

Sejumlah semak di dekat Manu, tiba-tiba berubah menjadi sebuah meja, dengan dua cangkir diatasnya. Dunia Manu betul-betul dunia berteknologi super maju. Manu meraih salah satu cangkir, melanjutkan, “Di hadapan Sang Guru, kami semua adalah anak-anak lemah tak berpengetahuan. Dengan tiba-tiba, kami harus berada di depan salah satu pintu. Itulah situasi yang kami hadapi, selama ribuan tahun, saat doktrin dari buku-buku itu berkuasa.”

Aku menarik napas panjang, “Ancaman yang dihadapi anak-anak itu, sungguh berat.”
Manu meletakkan cangkirnya, “Dan apakah itu adil? Bukan kemauan mereka, untuk berada di sekolah mengerikan itu. Tanpa izin mereka, mereka ditempatkan disana.”
Aku mengangguk, “Karena risiko permainan itu demikian besar, sudah seharusnya Sang Guru menyediakan petunjuk lebih jelas. Petunjuk yang tak mungkin disalah-artikan.”

“Begitukah menurutmu?”
“Ya. Bahkan, bila ada seorang anak yang tak mampu membaca petunjuk, dan anak itu terancam masuk ke pintu yang keliru, sudah seharusnya Sang Guru menarik tangan anak itu. Memeluknya. Menyelamatkannya.”
Manu tersenyum, “Maafkan aku Bindu. Cerita ini tampak mengganggumu.”
Aku mereguk cairan biru dari cangkir kristal itu, “Dan mengapa guru itu, tidak membuang saja semua ularnya?”

Manu mengangguk, “Nah. Masihkah kau ragukan, hak-mu untuk bertanya, Bindu?”
Aku memandang kejauhan, kepada sebuah menara cahaya, yang menjulang dari sebuah kota. Aku merasa aman berada di negeri milik bangsa Manu. Tempat mereka bermeditasi bersama, beberapa ratus tahun terakhir... *

No comments:

Post a Comment