10 January 2009

Lubang di Jalan

Petikan surat Bindu:
Bangsa Manu, betul-betul alergi terhadap buku-buku tertentu. Buku-buku yang mengaku ‘Diturunkan oleh Yang Sempurna’. Mereka merasa, banyak doktrin dari buku-buku itu, menutup mata mereka selama ribuan tahun.

Pagi itu, setelah terbitnya matahari pertama, aku menjumpai Manu di sebuah pantai. Sepertinya, dia berdiri di atas air. Lautan membentang luas, indah sekali. Anehnya, saat Manu melangkah, air dibawah kakinya memadat tepat waktu, hingga Manu seperti berjalan di daratan. Air padat itu mencair kembali, usai Manu melintas.

Fenomena serupa, ternyata berlaku juga untukku. Air tiba-tiba memadat seiring langkahku. Entah, teknologi apa yang mereka terapkan disini.
Manu menyapaku, tersenyum, “Bindu, aku tahu, kau punya pertanyaan lain tentang sikap kami terhadap ‘Buku-buku dari Yang Sempurna’.”

Aku mengangguk, “Manu, bangsamu bersikap tegas terhadap buku-buku itu. Tapi aku merasa, sikap kalian mungkin terlalu keras. Dan mungkin tidak adil. Kalian sempat hidup ribuan tahun bersama buku-buku itu, bersama doktrin-doktrin itu, toh peradaban kalian tidak binasa?”
Manu diam, aku melanjutkan, “Isi buku-buku itu, mungkin memang dangkal. Sebagian doktrin, bahkan keliru. Tapi sebagian lain, tentu berguna bukan? Aku yakin, banyak penganut buku-buku itu, berdasar nilai-nilai di buku-buku itu, telah melakukan hal-hal baik.”
Manu tersenyum, “Kau benar Bindu. Jelas, sebagian besar penganut buku-buku itu, tidak jahat. Sebagian, bahkan menjadi sangat baik. Motivasi mereka melakukan kebaikan, suatu saat akan kita perdebatkan. Tapi memang, mereka melakukan hal-hal baik.”

“Jadi, mengapa negeri kalian menghapuskan buku-buku itu dari peredaran?”
“Bindu, bangsa kami tidak memiliki larangan, dalam bentuk apapun. Siapa saja, boleh membaca buku apa saja. Setiap individu di negeri ini, bebas berbuat apapun. Sistem berjalan baik, karena setiap individu memahami konsekuensi tiap tindakan mereka, bagi diri mereka sendiri, atau bagi individu lain. Buku-buku itu tersisihkan dengan sendirinya, karena kesadaran yang berkembang.”
“Kalau begitu pertanyaannya begini, mengapa setiap individu bangsa kalian, beberapa ratus tahun terakhir, menolak buku-buku itu?”

“Tunggu sebentar.” Manu menunjuk ke udara, dan tiba-tiba saja, citra tiga dimensi dari sebuah kota di bumi, muncul dihadapan kami, “Aku sering berjalan-jalan ke beberapa tempat di bumi. Di setiap kota besar, selalu ada jalan-jalan besar, yang mulus rata. Kendaraan-kendaraan kalian, bisa dengan mudah melintas. Jalan-jalan itu, membantu penduduk kota pergi ke tujuan mereka masing-masing.”
Aku masih memperhatikan citra tiga dimensi itu. Manu melanjutkan, “Nah kadang-kadang aku melihat, akibat berbagai hal, beberapa jalan memiliki lubang-lubang menganga.”

Kondisi kota-kota di bumi, memang tidak bisa dibandingkan dengan kondisi kota-kota di negeri Manu. Aku tersenyum sendiri, menanggapi, “Ya betul. Tapi bukannya tak ada usaha. Sebagai informasi, para petugas di bumi selalu menutup lubang-lubang itu, sesegera mungkin.”
Manu menoleh padaku, “Mengapa begitu? Mengapa lubang-lubang itu tidak dibiarkan saja?”
Aku mendongak, “Aneh! Bagaimana mungkin kau muncul dengan pertanyaan semacam itu? Apakah kau serius?”
Manu tersenyum, “Aku hanya ingin tahu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala tak percaya, “Bukankah kau tahu segalanya? Tapi baiklah. Lubang-lubang itu, jelas merupakan bahaya potensial. Pengguna jalan, bisa terperosok ke dalam lubang.”
“Tapi mengapa perlu buru-buru ditutup? Apakah semua pengguna jalan akan terperosok ke lubang-lubang itu?”
“Tidak dong. Tapi jelas, kita harus mengurangi risiko bagi para pengguna jalan. Risiko harus ditekan menjadi sekecil mungkin. Idealnya, tak seorangpun boleh terperosok ke lubang-lubang itu.”

“Nah, bukankah kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri, Bindu? Bagi kami, buku-buku itu, adalah lubang-lubang di jalan menuju utopia. Tidak semua pengguna jalan, akan terjerumus oleh buku-buku itu. Tapi kami harus mengurangi risiko. Risiko harus ditekan menjadi sekecil mungkin. Idealnya, tak satu jiwapun boleh terperosok. Lubang-lubang harus ditutup, sesegera mungkin.”
Aku diam. Manu melambai, dan citra tiga dimensi itu meredup... *

1 comment: